# Tags
#Kampus

Urgensi Musrenbang dan Mutu Pembangunan

Oleh : Marita Damanik, SE, M.Si

Keberhasilan Pembangunan Daerah sangat tergantung sejauh mana pelibatan masyarakat di dalamnya. Melalui pelibatan masyarakat maka akan muncul paradigma pembangunan berbasis warga (social empowerment). Dasar hukumnya dengan regulasinya sangat jelas dan tertuang dalam Permendagri No 86 Tahun 2017.

Sebagaimana yang tertulis dalam Permedagri Nomor 86 Tahun 2017 Perencanaan Pembangunan Daerah yang berorientasi pada proses, menggunakan pendekatan teknokratik, partisipatif, politis; dan atas-bawah dan bawah-atas. Pendekatan teknokratik dalam perencanaan pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan Daerah.

Kemudian pendekatan partisipatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, dilaksanakan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pendekatan politis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c, dilaksanakan dengan menerjemahkan visi dan misi kepala Daerah terpilih kedalam dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah yang dibahas bersama dengan DPRD. Pendekatan atas-bawah dan bawah-atas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d merupakan hasil perencanaan yang diselaraskan dalam musyawarah pembangunan yang dilaksanakan mulai dari Desa, Kecamatan, Daerah kabupaten/kota, Daerah provinsi, hingga nasional.

Agenda dari Permendagri no 86 Tahun 2017 sudah sangat jelas dimana Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) adalah salah satu agenda yang harus dilakukan. Masalahnya, sejauh mana urgensi Musrenbang dalam menentukan arah pembangunan? Mengapa demikian, pertanyaan ini sangat penting mengingat selama ini Musrenbang hanya formalitas belaka dan bertujuan menghabiskan anggaran. Urgensi dan kemanfaatan Musrenbang kabur karena tidak bertransformasi dengan peningkatan taraf hidup masyarakat.

Salah satu kelemahan kita dalam perencanaan pembangunan adalah kita tidak punya visi dan misi yang jelas tentang 30 tahun kedepan mau jadi apa daerah ini. Di negara-negara maju konsep perencanaan pembangunan sebelum dibuat sudah dipikirkan apa dampak jika dilakukan seperti ini selama 30 tahun kedepan. Kita tidak, setelah direncanakan implementasi mengalami kegagalan karena ketidakberpihakan pemerintah misalnya pada anggaran untuk pembangunan. Kalau meman masih belanja pegawai yang lebih baik dalam format APBD kita daripada belanja pembangunan untuk publik, apakah Musrenbang Propinsi masih dianggap penting? Inilah problematikanya. Kepala daerah belum bisa berpikir jangka panjang kedepan.

Melihat grand desain sistem pengelolan daerah dengan pemberlakuan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam otonomi sudah sangat lama, yaitu sejak tahun 2001 (menggunakan UU No.22/ 1999 tentang Pemerintah Daerah) dan pada tahun 2004 (menggunakan UU No.32/ 2004 sebagai revisi Undang-undang sebelumnya) sampai sekarang. Dalam dua Undang-undang tentang Pemerintah Daerah tersebut telah diberlakukan sistem desentralisasi sebagai antitesa terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lalu yaitu sistem kebijakan sentralistik. Dengan adanya perubahan sistem kebijakan ini, pemerintah daerah mempunyai kewenangan besar untuk merencanakan/ merumuskan, dan melaksanakan kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Di dalam sistem desentralistik dan otonomi, melekat pula kewenangan sekaligus tanggung jawab untuk secara pro aktif mengupayakan kebijakan penanggulangan kemiskinan demi kesejahteraan rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tanggung jawab ini merupakan konsekwensi logis dari salah satu tujuan diberlakukannya otonomi daerah, yakni menciptakan sistem pelayanan publik yang lebih baik, efektif dan efisien yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat. Oleh karena itu kebijakan penanggulangan kemiskinan itu tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat semata.

Adanya kandungan aspek lokalitas yang tinggi dalam perumusan kebijakan publik juga menyebabkan pemerintah daerah dituntut untuk bersikap transparan dan akuntabel sebagai upaya untuk menciptakan good governance, sebab sekarang ini pemerintah daerah tidak hanya menjadi pelaksana kebijakan pemerintah pusat semata, namun memiliki kewenangan untuk merancang program pembangunan daerahnya sendiri dengan disesuaikan atas aspirasi dan kebutuhan rakyat di daerah. Hal ini ditunjang dengan adanya beberapa faktor yang mempermudah pelaksanaan otonomi daerah agar dapat berjalan secara kondusif terhadap kebijakan pembangunan. 1. DAU (Dana Alokasi Umum). Diberikan kepada pemerintah daerah dalam bentuk block grant (pemberian hibah), sehingga pemerintah daerah mempunyai fleksibilitas yang cukup tinggi dalam menggunakan alokasi dana tersebut sesuai dengan kepentingan dan prioritas daerah.

Dengan kata lain, pemerintah dapat bertindak lebih tanggap dan pro aktif dalam penanggulangan kemiskinan tanpa menunggu instruksi pemerintah di atasnya (propinsi ataupun pusat). 2. Ijin penanaman modal dan kegiatan dunia usaha umumnya kini dapat diselesaikan di tingkat daerah. Sehingga pengurusannya lebih mudah dan biaya lebih murah. 3. Daerah yang kaya sumber daya alam memperoleh penerimaan alokasi dana yang besar. Dengan dana tersebut daerah yang bersangkutan relatif lebih mudah untuk menentukan prioritas langkah-langkah pembangunan dengan berdasar pada partisipasi masyarakat.

Prasyarat Kebijakan Untuk Kesejahteraan Rakyat

Untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat membutuhkan beberapa prasyarat sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-undang tentang Pemerintah Daerah, di antaranya adalah sebagai berikut : 1. Tata kepemerintahan yang baik (good governance). Bahwa kebijakan publik bersifat multidimensi, maka pemerintah daerah tidak hanya mengandalkan pendekatan ekonomi semata, melainkan memerlukan pula kebijakan di bidang sosial, politik, hukum dan kelembagaan. Dengan kata lain, diperlukan adanya tata kepemerintahan yang baik (good governance) dari lembaga-lembaga pemerintahan, terutama birokrasi pemerintahan, legislatif, lembaga hukum dan lembaga pelayanan publik lainnya.

Secara spesifik hal ini ditandai dengan adanya keterbukaan, pertanggungjawaban publik, penegakan hukum, penghapusan birokrasi yang menyulitkan, pemberantasan korupsi, serta koordinasi lintas lembaga dan lintas pelaku yang baik. 2. Tingkat keberdayaan masyarakat yang memadai Yaitu masyarakat memiliki pemahaman dan kesadaran bahwa kebijakan yang digulirkan oleh pemerintah daerah adalah tidak lepas dari kebutuhan mereka. Keberanian untuk menyampaikan aspirasi menjadi hal yang paling penting dilakukan, di samping memberikan masukan aspirasi dan melakukan kontrol terhadap implementasi kebijakan pembangunan agar tidak terjadi penyimpangan.

Proses Penyusunan Kebijakan Program Pembangunan

Bahwa untuk menjalankan aktifitas pembangunan, pemerintah daerah harus merumuskan rencana-rencana kebijakan, baik yang terkait dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) ataupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJMD) dan satuan-satuan kerja (SATKER) dinas harus disesuaikan dengan aspirasi masyarakat yang polanya sudah berubah menjadi bottom up dan bukan lagi top down. Memang harus diakui bahwa dalam pelaksanaan rencana program pembangunan biasanya dilakukan dengan menggunakan metode teknokratik dan demokrasi partisipatif.

Pertama, perencanaan pembangunan secara teknokratik dilakukan secara sepihak oleh para teknokrat yang duduk di struktur pemerintahan daerah. Mereka akan melaksanakan penyusunan rencana pembangunan menurut buah pikiran dan ilmu pembangunan. Kelemahannya adalah perencanaan secara teknokratif ini tidak melibatkan warga masyarakat, sehingga perencanaan pembangunan yang dihasilkan biasanya justru tidak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan, karena seringkali jauh dari harapan dan kebutuhan masyarakat. Pada sisi ini masyarakat hanya dibiarkan sebagai penonton/ objek saja, tanpa mempunyai hak apapun.

Kedua, perencanaan pembangunan secara demokratis partisipatif adalah metode perencaan pembangunan dengan cara melibatkan warga masyarakat yang diposisikan sebagai subyek pembangunan. Artinya masyarakat diberikan peluang menggunakan hak-hak politiknya untuk memberikan masukan dan aspirasi dalam penyusunan perencanaan pembangunan. Metode yang kedua ini diharapkan dapat memberikan hasil-hasil perencanaan pembangunan yang sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan ataupun sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat, karena memang warga masyarakat langsung menyampaikan aspirasi kebutuhannya.

Metode ini berkarakteristik bottom up, bagaimana penjelasannya ? Proses penyusunan kebijakan program pembangunan yang mempunyai karakter bottom up kurang lebih adalah sebagai berikut :

1. MUSBANGDES (Musyawarah Pembangunan Desa) atau istilah lainnya MUSRENBANGDES (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa). Perencanaan pembangunan dimulai dari tingkat desa, yang biasanya dihadiri oleh mereka yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan, ataupun sesuai dengan kebijakan dari kabupaten, namun seringkali dalam prakteknya hanya menjadi semacam lips servis belaka, karena kegunaan dari musbangdes ini masih perlu dipertanyakan. Mestinya sebelum dilakukan musyawarah di tingkat desa, ketua-ketua RT dan RW mengajak berembuk dengan warga mengenai kebutuhan apa saja yang harus diajukan sebagai usulan kepada pemerintah desa, lalu dilakukanlah musyawarah pembangunan di tingkat desa tersebut.

Biasanya masyarakat mempunyai pandangan yang salah bahwa pembangunan yang dilakukan di tempatnya seringkali “dikatakan sebagai bantuan”, padahal memang pembangunan tersebut telah menjadi hak warga masyarakat untuk mendapatkannya, dan sekali lagi bukan “bantuan pembangunan” sebagaimana yang seringkali digulirkan oleh para elit politik, baik dari lingkungan partai ataupun pemerintah. Mana ada partai politik yang memberikan bantuan pembangunan, sedangkan mereka dalam menjalankan roda organisasi saja belum bisa mandiri, masih disupport oleh pemerintah baik melalui APBD maupun APBN.

2. MUSBANGCAM (Musyawarah Pembangunan Kecamatan) atau istilah lainnya MUSRENBANGCAM (Musyawarah Rencana Pembangunan Kecamatan). Merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan musyawarah pembangunan di tingkat desa. Kegiatan ini dilakukan untuk mengumpulkan berbagai masukan dari seluruh kawasan desa dalam satu kecamatan, kemudian yang menghadiri biasanya adalah mereka perwakilan dari desa.

Karena sudah banyak masukan dari seluruh desa, maka mestinya pada tingkatan ini sudah harus dipikirkan mengenai pembuatan “skala prioritas” pembangunan yang akan diajukan. Penentuan skala prioritas ini harus ditentukan secara bersama-sama antara pemerintah kecamatan dengan perwakilan-perwakilan desa, dan tidak hanya dari pemerintah kecamatan saja. Kalau hal ini yang terjadi maka akan terjadi sebuah situasi yang tidak fair, atau tidak adil.

3. MUSBANGKAB (Musyawarah Pembangunan Kabupaten) atau istilah lainnya MUSRENBANGKAB (Musyawarah Rencana Pembangunan Kabupaten). Musyawarah ini dilakukan di tingkat Kabupaten yang dihadiri oleh para perwakilan dari kecamatan-kecamatan untuk kemudian melakukan sinkronisasi rencana-rencana pembangunan yang telah disusun dengan rencana-rencana yang telah dibikin oleh Dinasdinas.

Nah, pada level ini biasanya akan terjadi tarik ulur kepentingan antara masukan aspirasi dari masyarakat dan dinas-dinas. Oleh karena memang, harus dicari format skala prioritas pembangunan masyarakat melalui pola perankingan, sehingga dapat dicapai kesepakatan bersama, dan tidak hanya pada coret-mencoret yang dilakukan oleh para kepala dinas semata.

Penentuan skala prioritas ini tidak boleh dilakukan secara sepihak karena hasil dari pelaksanaan kegiatan ini nantinya akan menjadi Rencana Anggaran dan Pendapatan Daerah (RAPBD). Draft APBD ini kemudian diajukan oleh pemerintah kabupaten untuk dimusyawarahkan dengan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah).

Penutup

Musrenbang yang dilakukan oleh Pemerintah sudah sering dilakukan sudah sering dilakukan. Harapan kita ada perubahan yang lebih baik. Semoga Musrenbang jangan hanya acara seremonial yang hanya berbicara masalah konsep tanpa ada upaya riil mewujudkan dalam bentuk keberpihakan anggaran dengan transparan dan terukur dalam format APBD. Visi peemrintahan harus sejalan dengan isi musrenbang.

Ditengah–tengah semangat reformasi dalam kerangka mewujudkan kepemerintahan yang baik (baca; good governance) dan berorientasi pada perwujudan kesejahteraan rakyat, maka masyarakat diharuskan untuk melakukan tindakan-tindakan aktif (peran partisipatif) guna mengawal seluruh rangkaian proses penyusunan perencanaan pembangunan yang dilakukan, baik di tingkat desa, kecamatan ataupun kabupaten sampai Prpinsi. Apa sebab ? paradigma pembangunan sudah bergeser dengan paradigma pemberdayaan warga (social empowerment). Semoga Musrenbang menjadi milik masyarakat dan mampu ditejemahkan oleh semua peemrintahan Kabupaten, Kota dan Provinsi.

  • Penulis Adalah Mahasiswi Doktoral ( S3) Ilmu Ekonomi FEB USU Medan