# Tags
#Kampus

Banyak Lulusan Menganggur, Sejauh Mana Kampus Sudah Membantu Mahasiswanya?

KampusMedan – Jakarta, Kesenjangan skill atau kemampuan lulusan perguruan tinggi siap kerja sering menjadi kendala banyaknya lowongan kerja yang belum terisi. Beberapa faktor penyebabnya adalah skill yang dipelajari di perguruan tinggi kurang sesuai dengan apa yang dibutuhkan industri kerja.

Di negara-negara Eropa yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), jumlah orang yang lulus dari universitas di atas 40% berasal dari usia 25 hingga 34 tahun dan hampir 50% berasal dari usia 25 hingga 34 tahun di Amerika.

Jumlah tersebut menunjukkan bahwa usia produktif yang siap bekerja sangat melimpah, namun lagi-lagi, skill yang cocok menjadi persoalan sehingga pengangguran tetap tinggi. Bahkan di Indonesia, menurut data dari Menteri Tenaga Kerja (Menaker), sekitar 12 persen pengangguran di Indonesia saat ini didominasi oleh lulusan sarjana dan diploma.

Nilai Tambah Lulusan Kampus Menurun

Laporan terbaru dari The Economist telah menunjukkan bahwa pengembalian investasi (ROI) untuk gelar sarjana tidak pernah lebih tinggi untuk kaum muda, dan nilai tambah dari gelar sarjana menurun seiring dengan meningkatnya jumlah lulusan.

Inilah mengapa gelar sarjana akan meningkatkan penghasilan lebih dari 20% di Afrika sub-sahara (di mana gelar relatif jarang), tetapi hanya 9% di Skandinavia (di mana 40% orang dewasa memiliki gelar).

Pada saat yang sama, ketika kualifikasi universitas menjadi lebih umum, perekrut dan pemberi kerja akan semakin menuntutnya, terlepas dari apakah mereka benar-benar dibutuhkan untuk pekerjaan tertentu atau tidak.

Jadi, sementara gelar tersier mungkin masih menghasilkan pekerjaan dengan gaji lebih tinggi, pemberi kerja yang sama, yang membagikan pekerjaan ini akan merugikan diri mereka sendiri dan kaum muda, karena telah membatasi kumpulan kandidat mereka hanya untuk lulusan perguruan tinggi.

Faktor yang Bisa Meningkatkan Akses ke Pekerjaan

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa skor kecerdasan adalah indikator potensi pekerjaan yang jauh lebih baik. Bisa dikatakan, banyak industri akan memilih kandidat dengan skor kecerdasan yang lebih tinggi dibanding kandidat dengan gelar sarjana.

Terutama ketika pekerjaan itu membutuhkan pemikiran dan pembelajaran yang konstan. Dalam hal ini, nilai akademik menunjukkan seberapa banyak seorang kandidat telah belajar, tetapi kinerja mereka pada tes kecerdasan mencerminkan kemampuan mereka yang sebenarnya untuk belajar, bernalar, dan berpikir secara logis.

Selain itu, gelar perguruan tinggi juga kerap dikacaukan dengan kelas sosial dan berperan dalam mengurangi mobilitas sosial dan menambah ketidaksetaraan.

Menurut laporan Harvard Business Review, banyak universitas memilih siswa atas dasar meritokrasi, tetapi bahkan seleksi berdasarkan prestasi digabungkan dengan variabel yang menurunkan keragaman pelamar yang diterima.

Di AS, orang kaya lebih cenderung menikah dengan orang kaya lainnya, dan keluarga dengan lebih banyak uang mampu membayar sekolah, tutor, ekstrakurikuler, dan hak istimewa lainnya yang meningkatkan kemungkinan anak mereka mengakses pendidikan perguruan tinggi elit.

Hal ini, pada gilirannya, memengaruhi seluruh lintasan masa depan anak itu, termasuk prospek karier masa depan mereka, karena memberikan keuntungan yang jelas bagi sebagian orang dan merugikan yang lain.

Ketika pemberi kerja memberikan nilai pada kualifikasi universitas, seringkali karena mereka melihatnya sebagai indikator yang dapat diandalkan untuk kompetensi intelektual kandidat.

Ahli mencatat, jika fokus pemberi kerja adalah kualifikasi, maka seharusnya menggunakan penilaian psikologis. Sebab ini dinilai lebih bisa memprediksi kinerja pekerjaan di masa depan dan tidak terlalu dibingungkan dengan status sosial ekonomi dan variabel demografis.

Kampus Harus Merangsang Mahasiswa untuk Terus Berpikir

Sejauh ini, banyak industri cenderung membutuhkan lulusan yang menunjukkan tingkat keterampilan tertentu. Karena itu, universitas seharusnya dapat secara substansial meningkatkan nilai gelar sarjana dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengajarkan soft skill kritis kepada mahasiswa mereka.

Sebab, pemberi kerja saat ini banyak yang menginginkan kandidat dengan tingkat EQ, ketahanan, empati, dan integritas yang lebih tinggi.

Seiring dengan berkembangnya dampak AI dan teknologi, kandidat yang dapat melakukan tugas yang tidak dapat dilakukan oleh mesin juga menjadi lebih berharga dan ini menggarisbawahi semakin pentingnya keterampilan lunak, yang sulit ditiru oleh mesin.

Dalam survei ManpowerGroup baru-baru ini terhadap 2.000 pemberi kerja, lebih dari 50% organisasi mencantumkan pemecahan masalah, kolaborasi, layanan pelanggan, dan komunikasi sebagai keterampilan yang paling berharga.

Demikian pula, laporan terbaru oleh Josh Bersin mencatat bahwa pemberi kerja saat ini cenderung memilih kandidat untuk kemampuan beradaptasi, kesesuaian budaya, dan potensi pertumbuhan mereka seperti untuk keterampilan teknis yang dibutuhkan (misalnya python, analitik, komputasi awan).

Selain itu, perusahaan seperti Google, Amazon, dan Microsoft, telah menyoroti pentingnya kemampuan belajar atau ingin tahu dan memiliki pikiran yang lapar sebagai indikator utama potensi karier.

Jadi, ada peluang besar bagi perguruan tinggi untuk mengembalikan relevansinya dengan membantu mengisi kesenjangan pembelajaran yang dihadapi banyak pekerja nantinya saat mereka dipromosikan menjadi peran kepemimpinan.(DTC/MKM)