Generasi Z yang dikenal sebagai sebagai “penduduk asli digital”, karena tumbuh besar dengan internet dan teknologi, dinilai banyak pihak terlalu berambisi, suka hal yang instan, cenderung malas, suka membandingkan, terlalu bebas di media sosial, lebih cuek.
Pada peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun 2025 ini, pesan kedua tokoh ini, yaitu seorang psikolog dari Universitas HKBP Nommensen, Nancy Naomi Aritonang,M.Psi,Psokoliog, dan Guru Besar Manajemen Sumber Daya Manusia dari Universitas Sumatera Utara Prof.Dr.Elisabet Siahaan, SE,MEc, menjadi pengingat dan bahan refleksi bagi Generasi Z untuk menjaga persatuan di tengah keberagaman Indoensia, menumbuhkan rasa cinta tanah air dan identitas nasional di era globalisasi, serta menjadi agen perubahan melalui kontribusi di berbagai bidang untuk kemajuan bangsa. Hal ini termasuk menghargai toleransi, berkarya secara inovatif, dan tetap menjaga semangat kebangsaan meski terpengaruh budaya luar.
Menurut Nancy Naomi Aritonang, tantangan pemuda hari ini tidak lagi berupa penjajahan fisik, tapi penjajahan mental (self-doubt), perbandingan di media sosial, dan kehilangan arah. Banyak anak muda yang merasa “tidak cukup baik” hanya karena membandingkan hidupnya dengan orang lain.

Globalisasi dan kemajuan teknologi membawa banyak pilihan gaya hidup, nilai dan ideologi. Nilai-nilai kemanusiaan dan kemampuan berempati semakin kabur belakangan ini. “Namun, semangat Sumpah Pemuda mengingatkan kita bahwa identitas sejati tidak ditentukan oleh pengakuan orang lain, tetapi oleh kontribusi dan keberanian untuk menjadi diri sendiri. Masa depan masih misteri, namun sebagai Pemuda Indonesia masa kini, kita bisa menunjukkan kebangkitan kesadaran kolektif. Kekuatan sejati lahir ketika kita berjuang bersama, bukan sendiri”,jelasnya.
Nancy Naomi mengajak Generasi Z untuk berkolaborasi lintas perbedaan dalam menciptakan solusi sosial. “Gunakanlah teknologi digital untuk menyuarakan kebaikan, bukan kebencian. Kita harus saling menguatkan satu sama lain, bukan hanya berkompetisi. Pemuda Indonesia akan tumbuh menjadi generasi emas yang tangguh, optimis dan menebar kedamaian. Kita Bersatu. Seperti dalam Sumpah Pemuda, Bersatu sebagai satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.
“Sebagai psikolog, saya ingin mengingatkan: bangsa yang kuat dimulai dari jiwa-jiwa muda yang sehat secara mental, emosional dan sosial.Jadi, rawatlah pikiranmu, jaga hatimu, dan teruslah bergerak. Karena setiap langkah kecil yang kamu ambil untuk memperbaiki diri, sebenarnya sedang memperkuat negeri ini”,tegasnya.
Sementara itu, Prof.Dr.Elisabet Siahaan mengatakan, 97 tahun telah berlalu sejak para pemuda bangsa Indonesia mengikrarkan Sumpah Pemuda, yaitu Satu Tanah Air, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Kini, tongkat estafet perjuangan itu ada di tangan Generasi Z. Dunia memang telah berubah, namun semangatnya tetap sama: membangun Indonesia yang maju, bermartabat, dan membawa harapan bagi dunia.

“Kobarkanlah semangat itu dengan mindset yang kreatif, terbuka, dan penuh toleransi. Hargailah perbedaan sebagai kekuatan, bukan pemisah. Tunjukkan perilaku kerja yang berdampak, berintegritas, dan beraksi nyata. Gunakan teknologi untuk mencipta, berkolaborasi, dan memberi solusi bagi tantangan bangsa. Jangan takut berbeda, selama perbedaan itu melahirkan kebaikan dan kemajuan”,ujarnya.
Elisabet Siahaan menambahkan, Bangsa Indonesia tidak hanya membutuhkan generasi yang pintar, tetapi juga generasi yang peduli, berani, dan punya hati. “Teruslah berkarya dari mana pun kalian berada di kampus, di komunitas, di ruang digital, atau di dunia kerja, karena setiap langkah kecil yang dilakukan dengan niat tulus akan menyalakan bara perubahan besar”,jelasnya.
Dosen Fakultas Ekonomi USU ini mengingatkan Generasi Z, bahwa Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah. Ia adalah janji yang hidup di dada setiap anak bangsa Indonesia yang mencintai negerinya dengan karya, bukan hanya dengan kata. “Jadilah generasi yang menyalakan masa depan Indonesia dengan semangat, kreativitas, dan kepedulian yang membara”,pungkasnya.(RED/MBB)









